Foto: ANTARA/Jessica Helena Wuysang
“Seperti perbudakan dan aphertaid, kemiskinan bukanlah hal yang alami. Kemiskinan adalah buatan manusia dan dapat dihapus lewat perbuatan manusia.” – Nelson Mandela
Kemiskinan, seperti Nelson Mandela katakan, ada karena manusia. Kemiskinan yang disebabkan oleh manusia umumnya terjadi akibat terbatasnya akses seseorang dalam memperoleh penghidupan yang layak karena orang tersebut dianggap sebagai bagian dari kelompok yang menganut ajaran berbeda dengan kelompok mayoritas.
Itulah yang terjadi pada para anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Sebelumnya, para penganut ajaran Gafatar yang banyak bermukim di wilayah di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Barat hidup damai dan berkecukupan. Mereka memiliki tempat tinggal, hewan ternak, dan tanah untuk digarap.
Andry Cahya contohnya. Pengusaha agrobisnis itu memiliki 14 ekor sapi. Bersama anggota Gafatar lainnya, ia mengelola lahan seluas 125 hektar di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Di lahan itu, Andry dan anggota Gafatar lainnya menanam jahe untuk diekspor ke Belanda. Ekspor pertama mencapai nilai Rp 45 miliar. Ia dan komunitas Gafatar di Kabupaten Melawi juga masih memiliki 15 ton bibit jahe dan 4 ton kunyit.
Ada juga Edhi Hartomo (bukan nama sebenarnya). Pengusaha berusia 42 tahun asal Desa Limau Manis, Kecamatan Pulau Maya, Kalimantan Barat itu bersama anggota kelompok Gafatar lainnya memiliki dan menggarap sendiri lahan pertanian seluas 33 hektar.
Aset melimpah itu tentu tidak didapatkan dengan mudah. Hampir semua mantan anggota Gafatar menjual harta benda di kampung halaman sebelum berangkat ke Kalimantan dan bergabung dengan kelompok ini. Uang dari hasil penjualan itulah yang digunakan untuk membeli aset seperti lahan dan hewan ternak serta membangun tempat tinggal.
Namun, tak ada yang menyangka bahwa aset yang dibangun dengan keringat itu kini tinggal kenangan. Setelah pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan Gafatar sebagai kelompok aliran sesat, masyarakat berbondong-bondong mendatangi permukiman Gafatar yang ada di Kalimantan dan mengusir mereka dari tempat tinggalnya.
Agustiar salah satu mantan anggota Gafatar menceritakan, pada Januari 2016 lalu, massa mengepung rumah dan sawahnya, menuntut ia dan anggota kelompok Gafatar lainnya untuk segera pergi. Polisi, tentara, dan pejabat pemerintah yang hadir justru mengamini pengusiran itu dan memberi mereka waktu dua hari bagi untuk berkemas. “Kami tidak setuju (ditekan seperti itu), tapi menyadari bahayanya. Kami minta (polisi) memberi kami waktu. Bagaimana bisa kami meninggalkan sawah kami, berton-ton benih, traktor, dan peralatan lain hanya dalam dua hari?” tutur Agustiar.
Sementara itu, anggota Gafatar lainnya di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat menjadi target amuk massa dan pembakaran harta benda. Akibat tindakan teror tersebut, kerugian yang diderita oleh para mantan anggota Gafatar diperkirakan mencapai lebih dari Rp 30 miliar.
Hak yang Terenggut
Setelah kondisi mereda, pemerintah memulangkan para mantan anggota Gafatar ke kampung halaman masing-masing. Namun setelah pulang, para mantan anggota Gafatar menemukan kondisi yang jauh berbeda. Jika sebelumnya mereka memiliki rumah dan mata pencaharian, kini mereka pulang ke kondisi hampa. Mereka juga harus menhadapi penolakan warga sehingga mereka sulit mendapat tempat tinggal.
Suratmi misalnya. Setelah pulang ke kampung halamannya di Kabupaten Indramayu, ia ¯dan keluarganya tidak lagi diterima oleh warga. Kepala desa juga mencabut Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Suratmi dan suami. Suratmi mencoba pindah ke desa lain, namun tetap ditolak warga. Akhirnya, ia dan keluarga memutuskan untuk pindah ke Kabupaten Subang.
Para eks gafatar juga sulit mendapat pekerjaan karena Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang mereka miliki mereka menyatakan mereka pernah terlibat tindak kriminal.
Terlepas dari ajaran aliran Gafatar, pemerintah seharusnya melindungi warganya dari tindak kekerasan dan pelanggaran hak memperoleh penghidupan yang layak. Diamnya pemerintah dalam membela hak Gafatar bisa dianggap sebagai pengaminan tindakan diskriminatif yang secara tidak langsung menjerumuskan para eks Gafatar ke dalam jerat kemiskinan.
Kesulitan para eks Gafatar memperoleh penghidupan yang layak adalah akibat dari pemerintah yang tidak tegas dalam melindungi hak-hak warganya. Sudah seharusnya pemerintah melindungi hak seluruh warga tanpa kecuali, dan bukannya berdiam diri atas tindakan diskriminatif yang ditujukan kepada kelompok minoritas.
Yayasan TIFA mendukung terbentuknya masyarakat Indonesia yang terbuka, yang menjunjung keadilan, keterbukaan, kebinekaan dan kesetaraan yang tidak memandang ras, suku, agama maupun latar belakang. Bersama dengan mitra, Yayasan TIFA terus mendukung upaya-upaya penegakan hak kebebasan beragama dan berekspresi sesuai dengan mandat konstitusi negara Indonesia