Sikap intoleransi serta ancaman kekerasan yang menggunakan sentiment SARA sering kali berujung pada terjadinya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kasus pembakaran masjid di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua dan vihara di Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara contohnya. Meningkatnya aksi-aksi intoleransi ini menjadi pengingat atas menipisnya penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Tanggung jawab untuk memenuhi dan melindungi hak-hak asasi setiap warga negara, termasuk hak beribadah, sejatinya tidak hanya menjadi milik pemerintah pusat. Dengan pemberlakuan otonomi daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota pun kini memiliki peran yang sama besar dengan pemerintah pusat dalam memenuhi dan mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masyarakat.
Hal ini senada dengan pendapat Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron. Ia mengatakan, kecenderungan yang saat ini terjadi di Indonesia adalah bahwa sebagian besar kasus pelanggaran HAM yang diadukan ke pihaknya melibatkan pemerintah daerah. Untuk itu, pemerintah daerah di seluruh tanah air perlu didorong untuk terlibat aktif menjalankan perannya dalam memenuhi dan melindungi HAM dengan menerapkan prinsip-prinsip HAM ke dalam setiap kebijakan daerah yang dibuatnya.
Inisiatif untuk membumikan HAM hingga ke tingkat lokal juga sedang intensif dilaksanakan di tingkat internasional. Forum Kota HAM Sedunia (WHRCF) dan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, adalah pihak yang kini tengah gencar mempromosikan dan merumuskan prinsip-prinsip serta panduan mengenai peran pemerintah daerah dalam perlindungan dan pemenuhan HAM.
Sebagai wujud komitmennya menciptakan kabupaten/kota ramah HAM, maka International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), salah satu mitra Yayasan Tifa, mendampingi sejumlah pemerintah daerah untuk mulai mengadopsi prinsip-prinsip HAM ke dalam setiap pembuatan kebijakan di daerahnya. Beberapa pemerintah daerah pun juga berpartisipasi dalam perwujudan perlindungan HAM di dalam insiatif-inisiatif internasional. Salah satu pemerintah daerah yang telah melakukan hal tersebut adalah Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
Di bawah kepemimpinan Bupati Suyoto, Kabupaten Bojonegoro menjadi salah satu promotor kabupaten/kota ramah HAM di Indonesia. Bahkan, pada bulan Maret tahun 2015, Kabupaten Bojonegoro mulai memberlakukan Peraturan Bupati Nomor 7 tahun 2015 tentang Bojonegoro Kabupaten Ramah HAM yang secara komprehensif mengadopsi prinsip-prinsip HAM.
Melalui berbagai aktivitas utama yang dilakukan, Kabupaten/Kota Ramah HAM, termasuk Bojonegoro, berusaha mempromosikan pelayanan publik yang prima, akuntabel, dan transparan. Sesuai dengan konsep Kota Ramah HAM, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro senantiasa mendahulukan kepentingan publik, hadir dalam persoalan di masyarakat, menjaga kepercayaan rakyat dan para investor, serta selalu mengajak masyarakat untuk menjunjung tradisi belajar bersama.
“Dari sinilah, secara perlahan Bojonegoro tumbuh menjadi kabupaten yang terbuka bahkan berani mendeklarasikan diri sebagai kabupaten welas asih, memiliki pendidikan inklusif, dan layak anak. Bojonegoro pada akhirnya dinilai berhasil mengimplementasi HAM dengan baik,” ungkap Suyoto.
Untuk mengapresiasi dan merayakan praktik-praktik baik pemenuhan dan perlindungan HAM serta pelaksanaan Pancasila di tingkat daerah dan dalam rangka menyambut perayaan Hari HAM Internasional yang jatuh pada tanggal 10 Desember, atas dukungan Yayasan Tifa, INFID menyelenggarakan Festival HAM 2016 dengan tema “Merayakan Praktik Pancasila di Tingkat Lokal”.
Kegiatan ini berlangsung dari tanggal 30 November hingga 2 Desember 2016 di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Selain sebagai wujud apresiasi, Festival HAM 2016 ini dilaksanakan sebagai wadah pembelajaran dan pertukaran gagasan bagi banyak pihak.
Festival HAM 2016 tidak hanya menggelar berbagai diskusi tetapi juga mengajak peserta festival untuk mengunjungi berbagai tempat di Kabupaten Bojonegoro yang memiliki cerita pembelajaran HAM, akuntabilitas, transparansi, dan toleransi beragama. Panggung kesenian untuk untuk para generasi muda Bojonegoro dan sekitarnya unjuk kebolehan juga tersedia . Panggung kesenian ini terbuka untuk ekspresi seni budaya lintas agama, sebagai simbol semangat toleransi di Bojonegoro.
Selain mempromosikan perlindungan HAM, festival ini juga menjadi ajang pembelajaran dan tukar pengalaman para pemimpin daerah yang peduli kepada isu HAM. Menjelang akhir Festival, para pemimpin daerah yang terlibat dan berbagai unsur dari lembaga negara, sektor swasta, dan masyarakat sipil, membacakan serta menandatangani Deklarasi Bojonegoro untuk mendorong pelaksanaan Pancasila, serta perlindungan, penghormatan, pemajuan, dan pemenuhan HAM di tingkat lokal. Melalui deklarasi tersebut, para pihak berkomitmen untuk:
- Meningkatkan perlindungan, penghormatan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik;
- Mendorong pemerintah daerah untuk mengambil inisiatif melaksanakan tanggung jawabnya di bidang hak asasi manusia;
- Memastikan bahwa dalam penyelenggaraan agenda-agendanya senantiasa terus memerhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang universal, non diskriminatif, inklusif, partisipatoris, menjunjung solidaritas, dan berkelanjutan;
- Mendorong dibukanya ruang partisipasi public dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah seluas-luasnya;
- Meminta kepada semua pihak untuk berperan aktif dalam peningkatan kapasitas pengetahuan hak asasi manusia – baik untuk aparat pemerintahan maupun masyarakat sipil, serta pihak-pihak lainnya;
- Mendorong kemitraan antara pemerintah daerah, warga, kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta untuk menyelenggarakan Kabupaten/Kota HAM; dan
- Terlibat aktif dalam kerja sama global untuk mempromosikan Kabupaten/Kota HAM.
Yayasan Tifa percaya, perlindungan HAM perlu dilakukan secara menyeluruh dan menyentuh segala lini. Oleh karena itu, Deklarasi Bojonegoro merupakan preseden baik bagi usaha peningkatan kesadaran perlindungan HAM oleh pemerintah daerah, terutama di tingkat kabupaten/kota. Tifa juga menilai, penyelenggaraan Festival HAM 2016 ini merupakan langkah awal yang baik untuk mendorong terciptanya Kota dan Kabupaten yang sadar dan ramah HAM