
Di Indonesia, kelangkaan air bukanlah suatu hal baru, terutama di daerah-daerah dengan curah hujan rendah dan beriklim semi-arid-tropik, seperti di Nusa Tenggara Timur yang kerap mengalami krisis air. Namun belakangan, kelangkaan air justru banyak dilaporkan terjadi di kota-kota besar dan pusat pariwisata akibat eksploitasi sumber air yang berlebihan, seperti yang berlangsung di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta adalah salah satu tujuan wisata utama di Indonesia. Tahun 2015 lalu, wisatawan domestik Yogyakarta mencapai hampir 3.9 juta, sedangkan wisatawan mancanegara mencapai hampir 300 ribu. Tingginya kunjungan wisatawan ini juga meningkatkan laju pertumbuhan industri penunjang pariwisata seperti rumah makan dan perhotelan, yang secara langsung turut meningkatkan penggunaan air tanah.
Riset Amrta Institute yang didukung Yayasan Tifa menunjukkan bahwa Yogyakarta memiliki ketergantungan tinggi terhadap air tanah. Sekitar 51 persen kebutuhan air di Yogjakarta masih dipenuhi dari air tanah, termasuk sebagian besar hotel dan rumah makan. Bahkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) DIY pun masih lebih mengandalkan air tanah dibanding air permukaan.
Penggunaan air tanah oleh PDAM DIY pada tahun 2015 berada di kisaran 86 persen dan hanya 13 persen pemenuhan kebutuhan yang diambil dari air permukaan. Sebagai perbandingan, PDAM Jakarta saja telah 100 persen menggunakan air permukaan untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan penggunaan air permukaan oleh PDAM Surabaya ada di kisaran 97 persen. Berkaca pada estimasi tren pariwisata di Yogjakarta yang semakin naik, jumlah pemanfaatan air tanah di DIY bisa diduga akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pembangunan hotel dan apartemen di kota gudeg ini.
Selain di Yogyakarta, krisis air bersih juga terjadi di DKI Jakarta. Krisis air di DKI bukan hanya pada pasokan air, tetapi juga pada kualitas air tanah yang semakin menurun. Berdasarkan pantauan Tempo, wilayah yang mengalami krisis air paling parah di Ibukota berada di Kecamatan Kalideres dan Kecamatan Cengkareng di Jakarta Barat; serta Kecamatan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, dan Kecamatan Marunda di Jakarta Utara.
Amrta mencatat, 93 persen air sungai dan tanah di Jakarta yang diteliti telah terpapar bakteri Escherichia coli dengan jumlah mencapai 2 juta per 100 milimeter kubik air. Padahal, batas toleransi bakteri ini hanya 2.000 per 100 milimeter kubik. Seperti dikutip dari Tempo, Misasri, warga Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, mengatakan, “Air PAM enggak ada. Air tanahnya bau tak sedap”.
Untuk mendapatkan air bersih, Misasri harus berjalan kaki sekitar 3 kilometer untuk membeli air bersih dari pedagang air keliling dengan harga Rp 2,000 per jeriken. Menurut Direktur PT. PAM Jaya Erlan Hidayat seperti dikutip dari Tempo, jumlah pasokan air bersih di Jakarta tidak bertambah sejak tahun 1997. Padahal, jumlah permintaan dan kebutuhan akan air bersih setiap tahunnya justru terus meningkat.
Seperti halnya di Jakarta , tingginya laju eksploitasi air tanah juga mulai dirasakan warga Yogyakarta. Survei Amrta menyebutkan bahwa warga mulai kesulitan mengakses air bersih karena debit air di sumur mereka semakin menyusut. Seperti dialami Sri Yuliada, warga Karangwuni yang merasakan air bersih semakin sulit didapat, meskipun ia telah memperdalam sumur di belakang rumahnya. “Sumur sudah saya suntik (perdalam) hingga 8 meter, bunyinya (mesin) ada tetapi tetap tidak ada air,” ujar Sri seperti dikutip dalam video dokumenter Jogja Darurat Air.
Nila Ardhianie, Direktur Eksekutif Amrta Institute mengatakan, pihaknya bersama dengan warga dan pihak terkait akan terus berupaya meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan untuk mencari solusi bersama. Hal ini penting karena pasokan air bersih saat ini dalam kondisi darurat. “Kondisi saat ini darurat karena air yg bisa diserap (imbuhan) dibanding pemakaian sudah defisit. Lebih banyak pemakaian air daripada yg masuk,” ujar Nila.
Jika eksploitasi air tidak dimbangi dengan imbuhan atau air yang masuk, maka yang akan terjadi adalah kerawanan air secara luas di wilayah Yogyakarta, terutama di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Sementara, dengan adanya alih fungsi lahan resapan menjadi lahan komersial seperti perhotelan, rumah maupun apartemen, area resapan air akan semakin menghilang.
Salah satu langkah yang bisa ditempuh untuk memperlambat laju krisis air adalah dengan tata kelola air yang lebih baik, yang memperhatikan laju eksploitasi sambil menghadirkan kembali daerah resapan air. Hal ini diamini oleh Pakar Hidrologi UGM, Prof.Dr.Ig.L. Setyawan Purnama, M.Si. yang menyebutkan perlunya penerapan konsep “Zero Run Off” dengan pembuatan sumur, embung, serta tempat penampungan air hujan dan resapan yang bisa dilakukan di tingkat keluarga, institusi pemerintah, maupun perusahaan serta industri.
Menurutnya pembuatan sumur resapan harus dilakukan hingga kedalaman yang sama dengan kedalaman pengambilan air tanah, terutama bagi industri perhotelan dan pariwisata. “Belum ada yang membuat sumur resapan. Kedepan perlu dibuat aturan hotel berkewajiban membuat sumur resapan lebih dari 40 meter atau sedalam air yang diambil,” ujar Iwan seperti dikutip dari situs Universitas Gadjah Mada.
Sebagai langkah mencari solusi, warga Yogyakarta yang mengalami keresahan akibat terganggunya pasokan air bersih pun mengadakan diskusi bertema “Rawat Ruwat Mata Air” yang dilaksanakan di desa Wonokerto, Yogjakarta. Ruwatan ini diselenggarakan bersamaan dengan peringatan Hari Air Sedunia yang jatuh setiap tanggal 22 Maret. Lewat diskusi ini, warga ingin mengajak khalayak menemukan langkah sinergis antara masyarakat di kawasan resapan dengan masyarakat lainnya karena sejatinya, air adalah hak bersama.