BUKAN UNTUK MATA BERBALAS MATA

Mendorong peran Negara dalam penegakan hukum yang adil dan perlindungan terhadap kelompok minoritas dalam melawan terorisme

Surabaya di Minggu pagi 13 Mei, aksi teror di Indonesia memasuki tingkat kengerian baru. Pukul 07.45 pagi dan anak-anak tidak lagi hanya menjadi korban, namun diposisikan sebagai pelaku oleh orang tua mereka.

Intan Olivia Marbun korban Molotov di Gereja Oikumene Samarinda tahun 2016, sama tidak bersalahnya dengan dua dara kecil yang luluh lantak di Gereja GKI Diponegoro. Mereka adalah kuncup yang layu terlalu pagi oleh kebencian yang tidak sepenuhnya mereka kenal dan mengerti.

Adalah sebuah keniscayaan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan terorisme dengan tingkat kekejian yang kita saksikan bersama di Surabaya.  Namun adalah naif untuk tidak mengakui bahwa simbol-simbol agama telah digunakan sebagai pembenaran dari kebiadaban tersebut.  Sama gegabahnya untuk menepis fakta bahwa kelompok minoritas, mereka yang kerap dianggap oleh mayoritas sebagai “liyan”, adalah sasaran mudah bagi tindakan beringas tersebut.

Data yang dihimpun TIFA menunjukkan bahwa sejak peristiwa bom Natal tahun 2000 di tujuh kota dengan 16 korban jiwa hingga bom di Surabaya hari Minggu lalu, tercatat 16 gereja telah mengalami serangan dengan 21 korban tewas dan 81 korban luka di 12 kota.  Tidak hanya gereja, dini hari pada tanggal 14 November 2016, sebuah bom molotov meledak di Vihara Budi Dharma, Kota Singkawang, Kalimantan Barat, walaupun tidak ada korban jiwa.

Menyimak kecenderungan tersebut adalah sebuah keharusan bagi negara guna melindungi keselamatan seluruh warga melalui penegakan hukum yang adil. Namun, di sisi lain, dibutuhkan kehati-hatian kita bersama untuk tidak menjadikan hukum sebagai pintu masuk bagi represi balik negara atas nama pemberantasan terorisme. Pemberantasan terorisme bukan sekadar masalah mata berbalas mata. Oleh karena itu, kekerasan untuk melawan kekerasan – apalagi oleh negara – seharusnya bukanlah sebuah pilihan.

TIFA percaya bahwa demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia adalah sebuah keharusan, tidak hanya untuk menjaga perdamaian, namun juga untuk melawan terorisme. Terorisme dalam skala yang tengah kita saksikan adalah sesuatu yang menakutkan. Sebuah kewajaran jika kita mengakuinya. Namun, ketakutan tersebut bukanlah sebuah alasan untuk menghilangkan kejernihan nalar dalam mengambil keputusan.

Menyikapi tindak terorisme yang berlangsung di Surabaya pada 13 Mei lalu, TIFA menghimbau:

  1. Pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum yang menyeluruh dan konsisten terhadap kelompok minoritas. Kelompok minoritas akan selalu menjadi sasaran kekerasan dan teror jika negara gagal mengendalikan penyebaran ujaran dan hasutan kebencian yang dilakukan di ruang-ruang publik, baik oleh politisi, tokoh agama maupun kelompok-kelompok kepentingan. Penegakan hukum bagi upaya melawan penyebaran ujaran dan hasutan kebencian juga harus dilakukan dengan adil dan tidak malah digunakan untuk melakukan represi berganda terhadap kelompok minoritas.
  2. Pemerintah tidak seharusnya menggunakan serangan teror di Surabaya sebagai pembenaran untuk menggunakan strategi “potong kompas” dalam pembahasan Revisi Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, seperti yang diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo.  Hal-hal yang masih menjadi perdebatan, seperti halnya intrusi peran militer dan ancaman terhadap perlindungan kebebasan sipil dalam RUU tersebut tidak seharusnya diabaikan. Pemerintah seharusnya bisa menarik pembelajaran dari kegaduhan yang terjadi dalam proses Perppu tentang Organisasi Massa untuk menghormati proses yang tengah berlangsung di parlemen.

Tidak ada satupun alasan yang bisa membenarkan tindakan terorisme. Namun, kita semua berhutang kepada mereka yang menjadi korban untuk melakukan tindakan yang benar dengan cara yang benar dalam upaya kita memberantasnya.

 

Jakarta,

15 Mei 2018

 

Darmawan Triwibowo

Direktur Eksekutif Yayasan TIFA