Bela Nagari: Memperjuangkan Hak Atas Lahan Lewat Pendidikan Hukum

Warga acapkali menjadi korban kesewenang-wenangan pihak yang lebih berkuasa, baik pemerintah maupun pemilik modal, karena tidak memiliki pengetahuan hukum yang cukup. Hal ini dialami warga di Nagari Alahan nan Tigo dan Nagari Lubuk Besar, Kecamatan Asam Jujuhan, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat.

Pada tahun 1985, PT. Tidar Kerinci Agung (TKA) yang merupakan perusahan kelapa sawit masuk ke Nagari Lubuk Besar dan Alahan nan Tigo. PT. TKA sendiri didirikan pada tahun 1984 oleh  Soemitro Djojohadikoesoemo, ayah Prabowo Subianto yang kala itu merupakan menantu mantan Presiden Soeharto. Hingga tahun 1990, PT. TKA telah mengambil lahan masyarakat seluas 900 hektar dalam ekspansi perkebunan sawit mereka. Dalam praktek ekspansi, perusahaan mengambil paksa lahan warga dengan dalih latihan militer.

Waktu itu, datanglah tentara ke Bukit Sembilan untuk menggarap lahan masyarakat. Mereka lalu menaruh merk (tanda) bertuliskan dilarang memasuki wilayah latihan militer. Masyarakat saat itu merasa tidak berdaya,” cerita Sarbaini, salah satu warga nagari yang terdampak perampasan lahan. Sarbaini bercerita, sebagian masyarakat Nagari Alahan nan Tigo dan Nagari Lubuk Besar kehilangan lahan produksi mereka akibat ekspansi perusahaan. “Saat masyarakat memeriksa lahan, padinya sudah habis, karetnya sudah tidak ada lagi,” tuturnya.

Area PT. TKA
Peringatan yang dibuat oleh PT. TKA agar warga tidak memasuki wilayah lahan mereka.

Warga yang tanahnya terampas oleh PT. TKA sepakat untuk melawan. Semenjak tahun 2014, warga mulai melakukan unjuk rasa dan menuntut perusahaan mengembalikan lahan mereka. Akibat aksi tersebut, 14 orang perusahaan warga dilaporkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat oleh pihak perusahaan. Awalludin yang termasuk ke dalam 14 perwakilan warga mengatakan, dirinya dipanggil kepolisian atas tuduhan telah menduduki lahan milik perusahaan tanpa izin. “Kami tanya (ke kepolisian), yang tanpa izin itu siapa? Masyarakat atau perusahaan? Hingga saat ini, proses hukum itu tidak ditindaklanjuti,” ucap Awalludin.

Karena tidak ingin dirugikan dalam proses hukum, Awalludin mengajak sejumlah warga lainnya untuk mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan meminta pendampingan hukum. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang kemudian mendamping tidak kurang 190 Kepala Keluarga (KK) yang telah tergusur di dua nagari itu tersebut. Lebih lanjut, warga kemudian memutuskan mengirim perwakilan mengikuti program pendidikan paralegal yang diselenggarakan LBH Padang. “Maka diutuslah kami oleh masyarakat, sebanyak tiga orang, untuk ikut pendidikan paralegal,” kata Awalludin.

Sekolah Paralegal LBH Padang yang diselenggarakan atas dukungan Yayasan Tifa memberikan pendidikan hukum dasar kepada komunitas warga. Warga pun bisa mendapatkan pengetahuan akan tata cara perdata, pidana dan hukum terkait kehutanan dan perkebunan.“Dengan adanya pendidikan paralegal, kami makin semangat. Alhamdulillah, kesadaran masyarakat untuk berjuang semakin tinggi,” ungkap Awalludin.

Bagaimana geliat warga Nagari Alahan nan Tigo dan Nagari Lubuk Besar yang kini menjadi paralegal? Apa peran mereka dalam merebut kembali lahan rampasan perusahaan? Simak kisah dan perjuangan mereka selengkapnya di video dokumenter “Bela Nagari” produksi Yayasan Tifa dan Watchdoc Documentary Maker.