Alissa Qotrunnada Munawaroh atau Alissa Wahid bukanlah nama asing bagi masyarakat Indonesia. Dia adalah putri pertama dari pasangan Mantan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (alm) dan Ibu Sinta Nuriyah. Ia aktif sebagai aktivis dalam bidang sosial dan keagamaan, dan merupakan Koordinator Jaringan Gusdurian, sebuah organisasi yang didirikan untuk memelihara semangat dan pemikiran Gus Dur.
Pemilik gelar master psikologi dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta ini adalah seorang psikolog keluarga dan pegiat hak asasi manusia. Ia banyak berkecimpung di isu toleransi antar umat beragama, dan kerap terlibat dalam diskusi publik dengan berbagai kelompok lintas iman. Belakangan, Alissa banyak bersuara dalam kasus antara PT. Semen Indonesia dan masyarakat Pegunungan Kendeng di Rembang, Jawa Tengah terkait pendirian pabrik semen di wilayah itu yang tidak didukung proses analisis lingkungan yang kredibel.
Dalam aktivitasnya bersama Jaringan Gusdurian di puluhan kota, Alissa jusga memfokuskan perhatiannya pada berbagai isu terkait anak muda, media sosial, dan intoleransi. Bersama dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Jaringan Gusdurian pun pernah melakukan riset persepsi intoleransi di kalangan anak muda di lima kota di Indonesia.
Sebagai pemerhati anak muda dan media sosial, apakah menurut Alissa media sosial merupakan alat yang efektif dalam gerakan HAM? Dan, mungkinkah media sosial membentuk opini publik, terutama anak muda? Cari tahu lebih jauh pemikiran Alissa seperti tertuang di bawah ini:
Saat ini, banyak pihak yang menyatakan pentingnya media sosial dalam membangun konsolidasi gerakan demokrasi. Namun, tidak sedikit juga yang merasa media sosial tidak menciptakan perubahan riil, dan bahwa forum fisiklah yang bisa menghasilkan perubahan. Bagaimana menurut Alissa?
Jika bicara ke masyarakat awam, kita bicara soal ide, kita bicara perspektif HAMnya, kita bicara perspektif demokrasinya. Kita bicara tentang the most vulnerable stakeholders. Itu yang kita bicarakan dan itu tidak akan bisa kita selesaikan di ruang seminar, dan hanya bisa kita lakukan di ruang mainstream public. Saya juga men-challenge pernyataan bahwa tidak ada perubahan yang riil dari penggunaan media sosial.
Misalnya dalam kasus Yu Patmi dan Kartini Kendeng. Harus kita akui, kampanye Kartini Kendeng itu berhasil karena pakai media sosial. Kalau ‘engga ya, isunya akan tetap lokal banget. Kampanye Yu Patmi bisa menjangkau ke seluruh Indonesia, ya karena media sosial. Orang jadi relate, orang jadi tahu hal ini karena ada media sosial, bahwa “Oh ada Yu Patmi, ada kasus apa sih ini?”
Tanpa media sosial, orang tidak akan tahu Yu Patmi, orang tidak akan tahu soal Kendeng, seperti apa situasinya.
Lalu bagaimana sebenarnya media sosial bisa memberikan pengaruh, terutama untuk anak muda?
Sebagai contoh, INFID bersama dengan Gusdurian meneliti soal sikap intoleran. Kami melakukan riset baseline di enam kota: Pontianak, Makassar, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Solo. Ternyata, kami menemukan bahwa makin muda justru makin makin intoleran.
Di Makassar, ketika muncul pertanyaan “Apakah mengucapkan selamat Natal haram?”, dalam kelompok usia 25 hingga 30 tahun, hanya 20 persen yang menyatakan haram. Tapi di rentang usia 20 hingga 25 tahun ada sebanyak 35 persen. Sementara di rentang usia 15 hingga 20 tahun, ada sebanyak 48 persen yang menyatakan haram. Dari mana mereka mendapat perspektif ini? Dari media sosial. Kenapa bisa? Karena narasinya kencang sekali.
Jika media sosial sedemikian berpengaruh, mengapa untuk isu HAM dan keadilan sosial, tidak banyak anak muda yang tergerak, jika dibanding dengan isu-isu yang berbumbu agama?
Persoalannya, kelompok HAM dan keadilan sosial kurang kencang narasinya. Maksudnya, narasi yang kita bawakan tidak jelas. Jangankan hendak berkompetisi, wong narasi aja kita ‘gak punya. Yang ada, gerakan HAM selama ini masih reaktif terhadap narasi yang beredar.
Misalnya meme soal muslim yang seharusnya pertanyakan demokrasi. Gerakan HAM tidak membuat counternya. Contoh lain soal meme “Stay muslim, don’t vote.” Sebelum pilkada Jakarta, meme ini kencang sekali. “Stay muslim don’t vote” itu salah satu yang paling tersirkulasi. Lalu ketika pilkada DKI, narasinya diubah, khusus untuk pilkada DKI berubah menjadi “Stay muslim and vote”. Jadi demokrasi bisa digunakan juga tergantung kepentingannya.
Intinya adalah kita kurang narasi, bukan karena media sosialnya kurang efektif. Media sosial justru sudah terbukti sangat efektif saat ini untuk memobilisasi gerakan, terutama untuk gerakan kemanusiaan.
Jadi, media sosial sebenarnya alat yang ampuh untuk gerakan HAM?
Kalau menurut saya sih, kita jangan terjebak. Apakah ini ideal? Tidak ideal, barangkali. Tapi, it’s working, It may not be according to what we wish for, but it’s working. Ya, kalau kita tidak mau gunakan, sementara kelompok-kelompok anti demokrasi justru memanfaatkannya, ya jangan salahkan jika situasinya seperti sekarang.