Tifa juga mendorong advokasi ethical recruitment untuk memperbaiki sistem perekrutan tenaga kerja luar negeri yang dipenuhi kasus penipuan dan korupsi.
Hukuman mati bagi Merry Utami, pekerja migran yang dituduh menyelundupkan obat-obatan terlarang, menjadi duka bagi banyak orang. Kasus ini mencoreng wajah pemerintah Indonesia, yang selayaknya memberikan keadilan sosial bagi seluruh warga. Bukan hanya karena praktek hukuman mati berlawanan dengan hukum internasional tentang hak asasi manusia, melainkan juga karena pemerintah dianggap lalai memberikan bantuan hukum dan akses bagi Merry Utami mendapatkan keadilan.
Merry adalah satu dari beberapa perempuan yang menjadi korban terpidana mati akibat penipuan sindikat obat-obatan terlarang. Rendahnya kesadaran hukum dan kurangnya inisiatif pemerintah Indonesia memberikan akses perlindungan yang cepat dan murah bagi masyarakat miskin, termasuk pekerja migran, masih menjadi momok.
Tifa telah mendorong penguatan Perhimpunan Bantuan Hukum Buruh Migran (PBH-BM) menjadi organisasi bantuan hukum yang terverikasi di bawah Kementerian, Hukum, dan HAM. Hal ini penting supaya buruh migran dapat mengakses bantuan hukum gratis. Juga agar PBH-BM dapat menjadi payung bagi paralegal pekerja migran Indonesia, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain itu, Tifa mendukung penguatan paralegal komunitas di beberapa negara tujuan, termasuk Arab Saudi, Hong Kong, dan Malaysia. Juga bersama mitra kerjanya, INFEST, Tifa Foundation membangun platform digital berbasis konsumen bernama PANTAU PJTKI (www.pantaupjtki.com) yang memungkinkan pekerja migran memonitor dan menilai agen perekrutran swasta di Indonesia.
Pada 2015, Tifa mendukung upaya advokasi revisi UU Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran Nomor 39 Tahun 2004. Revisi UU ini diharapkan memberi perlindungan bagi pekerja migran agar lebih terintegrasi dengan komponen-komponen perlindungan buruh, sebagaimana tercantum dalam Konvensi Migran 1990 yang sudah diratifikasi ke dalam UU Nomor 6 Tahun 2012.
Upaya-upaya litigasi kasus, yang kemudian didukung akses terhadap keterbukaan informasi, merupakan salah satu fokus kerja Tifa dalam beberapa tahun belakangan, khususnya yang berkaitan dengan isu migran, baik di daerah asal maupun di negara tujuan. “Kerja-kerja Yayasan Tifa bersama para mitranya untuk mendorong terpenuhinya akses keadilan bagi para buruh migran belum selesai. Masih banyak yang harus dilakukan dan Tifa berkomitmen mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkesinambungan (SDGs), terutama dalam rangka mempromosikan akses keadilan bagi masyarakat Indonesia”, ujar Darmawan Triwibowo.
Yayasan Tifa berdiri di Indonesia sejak akhir 2000 untuk memperjuangkan masyarakat yang menghargai keragaman dan menjunjung tinggi hukum, keadilan, serta kesetaraan. Hal ini diupayakan dengan memperkuat masyarakat sipil di Indonesia, baik melalui pemberian dana hibah, penyelenggaraan berbagai kegiatan untuk merespons ancaman atas keberadaan masyarakat, hingga memberikan bantuan teknis dan membangun center of excellence bagi masyarakat sipil melalui produksi dan berbagi pengetahuan.
Artikel ini muncul di majalah dan koran Tempo Edisi Kemerdekaan 16 Agustus 2016 dan bisa diakses melalui tautan berikut