2 Tahun Jokowi-JK: Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu Masih Rendah

Foto: ANTARA/Akbar Nugroho GumayFoto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Kemarin, 20 Oktober 2016, tepat dua tahun Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun, komitmen keduanya untuk menuntaskan setumpuk kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih rendah.

Sampai saat ini, upaya penyelesaian berbagai kasus HAM masa lalu seperti tragedi tahun 1965 serta kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua belum juga memperlihatkan kemajuan.  Padahal, penyelesaian kasus-kasus itu menjadi salah satu janji Jokowi-JK pada masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 lalu dan tertuang jelas di dalam agenda Nawacita yang diusung oleh keduanya.

Komitmen pemerintahan Jokowi-JK pun kembali dipertanyakan setelah Presiden Jokowi secara resmi menunjuk Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Kemananan (Menkopolhukam). Banyak pihak menganggap Wiranto bertanggung jawab atas berbagai kasus pelanggaran HAM bulan Mei 1998 silam saat ia menjabat sebagai Panglima TNI. Ia juga dianggap bersalah dalam pelanggaran HAM yang terjadi saat penetapan daerah operasi militer (DOM) di Aceh pada tahun 1990. Karena hal itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pengangkatan Wiranto sebagai Menkoplhukam merupakan pengkhianatan Presiden Jokowi terhadap janji kampanyenya dulu.

Diantara setumpuk pekerjaan rumah itu, ada beberapa hal yang sebaiknya pemerintahan Jokowi-JK segera lakukan.

Seperti dinyatakan Aktivis KontraS Feri Kusuma, dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat di Aceh medio 1990-1998, hal pertama yang Jokowi-JK perlu segera lakukan adalah mendorong Pemerintah Provinsi Aceh untuk menentukan mekanisme kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh ke depan dengan belum adanya KKR Nasional.

Keberadaan KKR penting bukan hanya karena mengikuti mandat Perjanjian Helsinki, tetapi untuk menjawab persoalan pelanggaran HAM demi penghormatan kepada para korban dan pemenuhan hak-hak mereka.

Mengenai Papua, menurut Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Papua Pastur Dr. Neles Tebay, salah satu cara ampuh yang mula-mula dapat dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM adalah dengan melakukan audit HAM. Melalui audit tersebut, seluruh data mengenai situasi HAM di Papua sejak masuk menjadi bagian Indonesia tahun 1963 hingga saat ini dapat dihimpun, diungkap, dan dipublikasikan secara menyeluruh, objektif, transparan, dan tanpa rekayasa.

Di sela-sela Seminar Nasional Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 14 Oktober 2016 lalu, Pastur Neles Tebay juga mengatakan bahwa selain melakukan audit, pemerintah juga harus memperbaiki relasi dengan masyarakat Papua.

Selama ini, pusat masalah HAM di Papua adalah buruknya hubungan antara pemerintah dan masyarakat Papua. “Orang Papua dicurigai sebagai pendukung gerakan separatis yang dimotori OPM. Di pihak lain OPM memandang pemerintah sebagai penjajah. Relasi permusuhan inilah yang melahirkan kasus-kasus HAM. Selama relasi ini tidak diperbarui, pelanggaran HAM akan terus terjadi di Papua,” pungkasnya.

Dengan usaha-usaha yang dilakukan selama ini untuk membuka dialog antara Jakarta dan Papua, hubungan yang penuh ketegangan ini akan bisa dicairkan. Ia bahkan optimis dialog yang lebih kuat antara Jakarta dan Papua dapat terlaksana di era pemerintahan Jokowi-JK yang jauh lebih terbuka.

Hal-hal serupa juga bisa diterapkan dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Kini tersisa waktu tiga tahun bagi Jokowi-JK memerintah negeri ini. Itu waktu yang pendek. Tetapi, bukan tidak mungkin bagi keduanya untuk melakukan perubahan besar dan menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah terkait pelanggaran HAM jika didorong komitmen kuat dan pengawasan semua pihak termasuk masyarakat sipil.

 


Yayasan TIFA hingga saat ini terus melakukan kerja sama dengan mitra untuk mengawal proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu dan mendorong pemerintah untuk terus mengedepankan komitmen menegakkan HAM di Indonesia.

 

 

Bagikan artikel ini